Pendahuluan

Pergolakan pemikiran Islam di Indonesia belakangan semakin mencemaskan. Bagaimana tidak, banyak sekali paham radikal yang tumbuh berkembang sehingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Terorisme yang berkedok agama telah muncul sejak tahun 2000 hingga kini belum juga terselesaikan.

Di sisi lain, banyak generasi muda kita yang rusak disebabkan pengaruh paham-paham liberal. Paham ini berkembang di kalangan aktifis muda yang sebetulnya memiliki akar kultural muslim tradisional. Salah satu contoh dari pemahaman liberal ini misalnya apa yang dikatakan oleh John Hick. Ia mengungkapkan bahwa semua agama sejatinya sebagai menifestasi dari realitia yang satu. Dengan kata lain, semua agama sama dan tak ada agama yang lebih baik dari yang lain (Thoha, 2005: 15).

Ungkapan ini tentu saja sebagai bentuk reduksionistik agama, sebab agama hanya ditempatkan pada keyaikan dalam ruang yang sangat sempit, yaitu sebatas hubungan antara manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai sistem sosial (Thoha, 2005: 15).

Dengan demikian, umat Islam Indonesia yang mayoritas pemeluk paham Ahlu Sunnah Waljama’ah sedang menghadapi tantangannya tersendiri sehubungan dengan berkembangnya faham-faham keagamaan baru yang sifatnya mengancam keutuhan akidah, syariah dan akhlak kaum sunni.

Sejak awal, paham Aswaja perlu diperkenalkan kepada generasi muda agar mereka mampu menjadi benteng dari pengaruh radikalisme dan liberalisme dan tidak terjerumus terhadap paham-paham tersebut. Mereka mempunyai peran strategis untuk membangun kekuatan bersama dalam mendeteksi diri, menangkal dan mencegah berkembangnya paham radikal yang berujung pada aksi terorisme.

Dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang keaswajaan, mulai dari pengertian, sejarah, doktrin ajaran serta sumber yang digunakan dalam doktrin tersebut, serta tokoh-tokoh yang berperan dalam berkembangnya paham Aswaja.

Pembahasan

Pengertian dan Sejarah Aswaja

Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ASWAJA) secara terminologi berasal dari tiga suku kata, yaitu ahlun, sunnah dan jama’ah. Kata ahlun bermakna keluarga, golongan dan pengikut. Sunnah berarti perkataan, pemikiran dan amal perbuatan Nabi Muhammad saw. Sedangkan jama’ah berarti sekelompok orang yang memiliki tujuan tertentu (Siradj, 2008: 5).

Adapun pengertian secara etimologi adalah sebuah aliran atau paham yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. dan para sahabatnya (Hasan, 2021: 3). Mengikuti Rasulullah berarti meneladani keseluruhan aspek yang telah diteladankan oleh Baginda Rasul saw.

Secara normatif, kata Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ditemukan dalam beberapa kitab refrensi lama. Term tersebut sebagai sebuah paham, baru dikenal pada ashabul al-asy’ary. Misalnya: al-Baqillani (403 H.), al-Bagdadi (429 H.), al-Juwaini (478 H.) dsb. Kendati demikian, tidak berarti secara sharih (jelas) mereka menyatakan aswaja sebagai pahamnya. Ungkapan tersebut mulai tegas ketika al-Zabidi (1205 H.) menyatakan:

اذا اطلق اهل السنة فالمراد به الأشاعرة والماتريدية

"Jika diungkapkan kata Ahlu Sunnah, maka yang dimaksud adalah penganut al-Asy’ari dan al-Maturidi."

Dengan demikian, pada masa tersebut term Ahlus Sunnah wal Jama’ah masih sebatas klaim saja. Sebab, secara konseptual, pemikiran al-Asy’ari juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran para ulama sebelumnya. 

Jika ditelisik lebih dalam, perjalan Imam al-Asy'ari dari paham Mu’tazilah menuju paham al-‘Asy’ariyah tidak hanya karena faktor emosional-intuitif (impian), akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor pemahaman keagamaan transformatif, paham agama yang inklusif (terbuka), bukan paham agama yang eksklusif (tertutup) dan ekstrimis (Roibin, t.th: 3).

Sejarah Islam mencatat, bahwa Ahlus Sunnah sebagai sebuah aliran dikenal pada saat aliran Mu’tazilah dengan rasionalisme-nya, lebih-lebih saat masa penguasa Bani Abbasiyah. Ketika menjadi paham resmi negara, Mu’tazilah memakai cara-cara yang keras dalam meng-counter lawan-lawannya (Munawir, 2013: 9). Akan tetapi, tidak ketika Khalifah al-Ma’mun wafat. Kekuatan Mu’tazilah mulai melemah, secara resmi dicabut sebagai madzhab resmi negara oleh Khalifah Mutawakkil.

Doktrin Aswaja

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajarkan tentang Islam yang moderat (tawassut). Ajaran tersebut, tercermin dalam 3 pokok ajaran agama Islam. Pertama, tauhid. Tauhid berarti pemurnian dari segala aqidah yang datang dari luar Islam. dalam ajaran ini juga berarti kehati-hatian dalam menilai umat muslim lainnya dalam hal kemusyrikan dan kekafiran.

Kedua, bidang syariah, yaitu seorang muslim hendaknya berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah dengan metode dan sistem pemahaman yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak memberikan ruang pada akal terhadap masalah yang sifatnya qat’i dan sharih, akan tetapi terhadap masalah-masalah yang bersifat dzanni diberikan ruang toleransi selama tidak keluar dari ajaran dan prinsip-prinsip Islam.

Ketiga, bidang tasawuf, yaitu melakukan riyadah dan mujahadah yang sesuai tuntunan agama, mencegah sikap ekstrim yang menjerumuskan pada penyelewengan akidah dan syariah, serta berpedoman pada akhlak yang luhur di antara dua sikap ekstrim (tatarruf).

Menurut Abdulullah bin Abdul Hamid al-Atsari (t.th: 33-35), ada beberapa karakteristik dari paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pertama, bersikap tawassuth (pertengahan) antara ifrath (melampaui batas) dan tafrith (menyia-nyiakan); antara berlebihan dan sewenang-wenang, baik dalam ‘aqidah, syariah ataupun akhlak. Kedua, sumber pedoman hanya mengambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah.

Ketiga, tidak ada imam yang diagungkan. Keempat, tidak ikut arus dalam perselisihan agama sekaligus menghindari orang-orang yang terlibat di dalamnya, serta meninggalkan perdebatan tentang halal dan haram. Kelima, ta’dhim terhadap salaf al-shalih. Keenam, menolak takwil (penyelewengan suatu nash dari makna yang sebenarnya) dan menyerahkan diri kepada syariat, dengan mendahulukan nash yang shahih dari pada akal (logika), serta menundukkan akal di bawah nash.

Ketuju, memadukan nash-nash dalam suatu permasalahan dan mengembalikan (ayat-ayat) yang mutasyabihat (ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian/tidak jelas) kepada yang muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan tegas maksudnya). Delapan, memadukan antara ilmu daan ibadah, antara tawakkal kepada Allah dan ikhtiyar (berusaha), antara berlebih-lebihan dan wara’ dalam urusan dunia, antara cemas dan harap, antara cinta dan benci, antara sikap kasih sayang atau lemah lembut kepada kaum mu’minin dengan sikap keras dan kasar kepada orang kafir.

Sembilan, tidak menggunakan istilah selain Islam, Sunnah dan Jama’ah. Sepuluh, peduli dalam menyebarkan aqidah yang benar serta agama yang lurus. Sebelas, menjadi orang-orang yang sabar atas perkataan, ‘aqidah dan dakwahnya. Kedua belas, peduli terhadap persatuan jama’ah, serta menjauhkan mereka pada perselisihan, perpecahan serta memberi peringatan kepada manusia dari hal tersebut.

Ketiga belas, menghindari sikap saling mengkafirkan sesama manusia, menghukumi yang lain berdasarkan ilmu dan keadilan. Keempat belas, saling mencintai dan mengasihi, saling tolong menolong, saling menutupi kekurangan, dan tidak bersikap loyal dan memusuhi kecuali atas dasar agama.

Sumber Dotrin Aswaja

Sumber doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah hanyalah al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan dalil ijma’, qiyas, istihsan dsb. dapat dijadikan sebagai basis argumentasi (petunjuk) dalam penetapan hukum syara’. Selain al-Qur’an dan al-Sunnah, istilah-istilah tersebut dapat dikategorikan sebagai sumber doktrin Aswaja akan tetapi hanya sebatas menyingkap dan memunculkan hukum di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah (Ali, 2009: 200).

Sumber doktrin Aswaja terbagi menjadi dua, sumber naqli dan sumber aqli. Dari kedua sumber tersebut, ada yang disepakati (muttafaq) ada yang diperselisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber naqli yang disepakati adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan al-ijma’. Sementara al-urf, syar’u man qablana, dan madzhab Shahabi kedudukannya diperselisihkan. Adapun sumber aqli yang disepakati hanyalah al-qiyas. Sementara al-ihtisan, al-istishab, dan sadd al-dzari’ah diperselisihkan (Ali, 2009: 201).

Dapat disimpulkan, bahwa sumber hukum/doktrin Aswaja yang disepakati (muttafaq) oleh jumhur ulama Aswaja adalah al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Adapula ulama yang menyebutkan bahwa sumber hukum yang diperselisihkan (mukhtalaf) adalah sebagai dalil hukum bukan sebagai sumber hukum, namun yang lain menyebutkan sebagai metode ijtihad.

Penetapan ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum diterangkan oleh al-Khallaf yang menafsirkan QS. al-Nisa’/4: 59, bahwa perintah menaati Allah dan Rasul-Nya adalah dengan mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah. Adapun menaati ulil amri maksudnya adalah mengikuti hukum yang disepekati oleh para mujtahid (ijma’), sedangkan maksud dari pengembalikan segala persoalan yang menjadi perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya bermakna perintah untuk menggunakan qiyas apabila persoalan tersebut tidak ditemukan dalam teks nash dan ijma’ (Ali, 2009: 201).

Tokoh-Tokoh Aswaja

Al-Baqilani (w. 403 H. / 1013 M.)

Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn al Toyyib Ibn Muhammad Abu Bakar al-Baqilani. Ia mengambil ilmu dari murid Imam al-Asy’ari yaitu Ibn Mujahid dan Abu Hasan al-Bahili.

Al-Juwaini

Bernama lengkap Abdul Ma’ali al Juwaini. Ia mendapatkan gelar Imam Harmain sebab pernah tinggal di Mekkah dan Madinah untuk memberikan pelajaran dan fatwa. Salah satu buku yang terkemuka adalah al-Irsyad (petunjuk), yang menguraikan masalah fiqih yang bersumber pada ajaran Imam Syafi’i dengan corak paham Asy’ariyah.

Al Gazali

Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Gazali. Ia adalah orang yang berpengaruh dalam penyebaran paham al-Asy’ari. Ia juga pernah mengajar di Madrasah Nizamiyah. Mendapatkan gelar Hujjah al Islam, karena karya-karya monomentalnya yang menjadi pembela dari paham-paham yang menyesatkan.

Al-Sanusi (833-895 H / 1427-1490 M.).

Bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf al Sanusi.

Demikian tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam penyebaran paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Setelah paham Aswaja mengalami pasang surut, paham ini kemudian tersebar luas keluar daerah Bagdad bahkan ke dunia Islam lainnya. Di Mesir aliran ini dibawa oleh Salahuddin al-Ayyubi, sebagai pengganti dari aliran Syi’ah. Adapun daerah Maroko dan Andalusia aliran tersebut disebarkan oleh Muhammad Muwahhid (1130-1269 M.) yaitu Afrika Utara dan Spanyol. Di dunia Islam bagian tiimur ajaran ini dibawa oleh Mahmud al-Ghaznawi saat berkuasa di Afganistan dan Punjab, dan dinasti tersebut meluas sampai Irak melalui Persia (Nasution, 1972: 75).

Penutup

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah sebuah aliran atau paham yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Ahlu Sunnah sebagai sebuah aliran dikenal pada saat aliran Mu’tazilah dengan rasionalisme-nya, lebih-lebih saat didukung oleh penguasa Bani Abbasiyah. Ketika menjadi paham resmi negara, Mu’tazilah memakai cara-cara yang keras dalam meng-counter lawan-lawannya. Namun, ketika Khalifah al-Ma’mun wafat, kekuatan Mu’tazilah mulai melemah, bahkan paham tersebut dicabut sebagai madzhab resmi negara oleh Khalifah Mutawakkil.
  2. Paham Ahlu Sunnah Waljama’ah mengajarkan tentang Islam yang moderat (tawassut). Ajaran tersebut tercermin dalam 3 pokok  ajaran agama Islam, yaitu tauhid, syariah dan tasawwuf.
  3. Sumber hukum/doktrin Aswaja yang disepakati (muttafaq) oleh jumhur ulama Aswaja adalah al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Ada ulama yang menyebutkan bahwa sumber hukum yang diperselisihkan (mukhtalaf) adalah sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun ulama' lain menyebutkan sebagai metode ijtihad.
  4. Tokoh-tokoh  yang berpengaruh dalam penyebaran Aswaja/Asy’ariyah yaitu, al-Baqilani (w. 403 H. / 1013 M.), Al-Juwaini, Al Gazali, Al-Sanusi.

Refrensi

Ali, Mudzakkir. 2009. Pokok-Pokok Ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Semarang: Wahid Hasyim University Press

Atsari (al), Abdulllah bin Abdul Hamid. t.th. Al-Wajiz fi Aqidah al-Salaf al-Shalih (Ahlu Sunnah Waljama’ah. Istambul: Guraba

Hasan, Muhammad. 2021. Perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah di Asia Tenggara. Pamekasan: Duta Media Publishing

Munawir. 2013. Kajian Hadits Dua Mazhab. Purwokerto: Stain Press

Nasution, Harun. 1972. Teologi Islam, Jakarta: U.I

Roibin. t.th. Reformulasi Pemikiran ASWAJA: Upaya Memperkecil Sikap Eksklusifitas Idiologi Keagamaan Muslim Nahdhiyin. t.t. lihat: http://repository.uin-malang.ac.id/5270/1/5270.pdf

Siradj, Said Aqil. 2008. Ahlussunnah wal Jama’ah: Sebuah Kritik Historis. Jakarta: Pustaka Cendikia Muda

Thoha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan kritis. Jakarta: penerbit Prespektif