Pendahuluan
Sejarah Islam mencatat, terdapat beberapa aliran atau sekte (firqoh) yang muncul disebabkan adanya perbedaan perspektif di antara umat Islam. Benih-benih munculnya firqoh tersebut dilatarbelakangi oleh faktor politik. Pergolakan politik umat Islam sebenarnya telah dimulai sejak meninggalnya Rasulullah saw. Saat itu, mulai timbul perselisihan perihal kandidat pengganti Nabi Muhammad saw. dalam posisi kepemimpinan negara. Masing-masing memiliki pandangan sendiri- sendiri siapa pengganti beliau selanjutnya. Sekalipun pada akhirnya Sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan yang kemudian disepakati menjadi khalifah pengganti Rasulullah saw. secara bergantian.
Namun, setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan oleh pemberontak, isu pengganti Rasulullah kembali mencuat. Setidaknya ada 5 kandidat yang dicalonkan, akan tetapi dua di antaranya menyatakan ketidaksediaannya, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqas dan Ibn Umar, sehingga kandidat yang tersisa adalah Thalhah, Zubair dan Sayyidina Ali (Asyari, 1990: 77). Namun, pada akhirnya Sayyidina Ali dibaiat oleh umat Islam menjadi khalifah menggantikan Khalifah Utsman bin Affan.
Sejak meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan sampai dibaiatnya Khalifah Ali inilah timbul perbedaan pandangan di kalangan umat Islam yang kemudian berujung pada timbulnya firqoh-firqoh dalam Islam. Dalam tulisan ini, akan dijelaskan bagaimana sejarah dan penyebab kemunculan firqoh-firqoh, serta firqoh apaa saja yang paling berpengaruh.
Pembahasan
Sejarah Timbulnya Firqah dalam Islam
Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan di tangan pemberontak, umat Islam segera mencari pengganti orang yang akan menduduki kursi kekhalifahan. Hingga akhirnya, Sayyidina Ali terpilih menjadi Khalifah. Awal pertama Sayyidina Ali menjabat, situasi di Kota Madinah masih sangat genting. Apalagi, keluarga Umayyah menuntut Khalifah Ali untuk segera mengusut pembunuh dari Khalifah Utsman bin Affan. Namun, dengan kondisi pemerintahan yang masih labil, Sayyidina Ali tidak terburu-buru untuk mengambil langkah pengusutan kasus tersebut, akan tetapi beliau masih akan fokus pada pemulihan stabilitas pemerintahan yang beliau jalankan (Hitti, 1874: 179).
Langkah awal adalah mengganti para gubernur yang menjabat pada masa Khalifah Utsman. Langkah tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, pemberontak sejak awal menginginkan praktik nipotisme segera dihapuskan. Di sisi lain, tuntutan untuk mencari pembunuh Khalifah Utsman terus bergulir. Di antaranya, Thalhah dan Zubair serta sahabat yang lain meminta Khalifah Ali untuk segera mengusut pembunuh Khalifah Utsman tersebut.
Sayyidina Ali tetap tidak bersedia untuk segera mengusut pembunuh Khalifah Utsman dengan pertimbangan akan tetap fokus memulihkan keadaan yang belum stabil. Sehingga, para sahabat tersebut akhirnya datang ke Mekkah menghadap kepada Ummul Mu’minin Aisyah dan beliaupun sepakat untuk menuntut balas kematian Khalifah Utsman. Terjadilah apa yang disebut dengan “Perang Jamal”, yaitu peperangan antara pasukan Aisyah dan Sayyidina Ali yang dimenangkan oleh pasukan Sayyidina Ali.
Setelah perang jamal selesai, Sayyidina Ali kemudian berangkat ke Syam untuk menundukkan Mu’awiyah yang membangkan terhadap pemerintahan Sayyidina Ali. Dua kelompok ini akhirnya bertemu di wilayah Siffin. Perangpun tidak bisa dielakkan. Pasukan Sayyidina Ali akhirnya berhasil memukul mundur pasukan Mu’awiyah. Dalam keadaan terdesak, pasukan Mua’wiyah, yaitu Amr bin ‘Ash, mengangkat mushaf di atas tombak sebagai tanda permintaan damai.
Mu’awiyah meminta agar dilakukan perundingan atau “tahkim”. Sayyidina Ali menerima permintaan tersebut sebab para pasukan telah tepecah belah, sekalipun beliau mengetahui bahwa permintaan tahkim tersebut hanya bagian dari strategi perang (Maududi, 1978: 179). Dalam proses perundingan, Mu’awiyah mengirim Amr bin ‘Ash sebagai utusan, sementara dari pihak Sayyidina Ali mengirimkan Abu Musa al-Asy’ari. Pada akhirnya, benarlah dugaan Sayyidina Ali bahwa “tahkim” tersebut hanya strategi belaka sehingga perundingan menghasilkan kesepakatan yang dapat merugikan pihak Sayyidina Ali.
Sebab-sebab Timbulnya Firqah dalam Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa munculnya firqoh dalam Islam disebabkan adanya perbedaan perspektif di antara umat Islam. Paham yang satu merasa perlu untuk melakukan pembaharuan dari paham sebelumnya yang dianggap adanya problem di dalamnya. Benih-benih munculnya firqoh dilatarbelakangi oleh faktor politik. Pergolakan politik umat Islam telah dimulai sejak meninggalnya Rasulullah saw. Saat itu mulai timbul perselisihan perihal kandidat pengganti Nabi Muhammad saw. dalam posisi kepemimpinan negara.
Dalam hal ini, umat Islam terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama meyakini bahwa Rasulullah tidak memberikan petunjuk apapun terkait siapa pengganti beliau selanjutnya. Dengan demikian, pengambilan keputusan kepemimpinan selanjutnya haruslah melibatkan umat Islam keseluruhan. Pendapat kedua menyatakan, estafet kepemimpinan selanjutnya tidak perlu melibatkan umat Islam secara keseluruhan. Akan tetapi, kepemimpinan tersebut haruslah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga meyakini bahwa jauh sebelum Rasulullah meninggal, beliau telah menunjuk Sayyidina Ali sebagai pengganti beliau (Abidin, 2006: 117-128).
Perbedaan pandangan tersebut merupakan gambaran sederhana munculnya perpecahan di kalangan umat Islam, yaitu berawal dari silang sengkarut umat Islam terkait siapa pengganti dari kepemimpinan Rasulullah setelah beliau wafat. Seiring berjalannya waktu, perbedaan pandangan ini terus saja mengelinding seperti bola salju sampai generasi selanjutnya. Sehingga, terbentuklah aliran-aliran teologi yang mewarnai sejarah peradaban uumat Islam dan berdampak cukup signifikan hingga genarasi sekarang.
Firqah-Firqah yang Berpengaruh
Pada saat peristiwa tahkim, sebenarnya ada beberapa orang dari pasukan Sayyidana Ali yang tidak setuju dengan adanya perundingan tersebut. Mereka akhirnya memisahkan diri dari barisan Sayyidina Ali. Mereka inilah yang disebut dengan kelompok Khawarij. Kelompok ini meyakini bahwa peristiwa tahkim adalah peristiwa yang tidak bersandar pada hukum Allah SWT. Dengan demikian, bagi mereka peristiwa tahkim adalah sebuah kekafiran dan pelakunya halal darahnya untuk dibunuh.
Pada tahun 658 M terjadi perang antara pasukan Sayyidina Ali dengan kaum khawarij di Nahrawan yang dimenangkan oleh pasukan Sayyidina Ali dan membuat pemimpin Khawarij, Abdullah bin Wahab al-Rasibi, terbunuh. Terbunuhnya Abdullah bin Wahab al-Rasibi membuat pengikutnya semakin dendam. Hingga akhirnya, mereka mengutus Abdurahman bin Muljam untuk membunuh Sayyidina Ali, dan pembunuhan tersebut berhasil sehingga Sayyidina Ali wafat pada tanggal 14 Ramadhan 40 H. / 661 M. Sayyidina Ali menjabat salam 4 tahun.
Adapun mereka yang setia pada Sayyidina Ali disebut dengan golongan Syi’ah. Mereka menetang keras kelompok Khawarij yang menganggap Sayyidina Ali sebagai orang kafir. Ketika Abu Bakar, Umar dan Utsman menjadi Khalifah tidak ada satupun umat Islam yang menolak atas kepemimpinan mereka. Namun, setelah Sayyidina Ali menjadi Khalifah seluruh umat Islam juga tidak menolak kecuali Bani Umayyah, sehingga umat Islam terpecah menjadi dua golongan. Golongan yang mendukung Sayyidina Ali dan golongan yang mendukung Mu’awiyah. Namun, setelah peristiwa tahkim terjadi, umat Islam kemudian terpecah lagi, sebab menentang peristiwa tahkim tersebut. Mereka disebut golongan Khawarij yang pada mulanya merupakan pasukan Sayyidina Ali (Hourani, 2004: 79).
Ketika Mu’awiyah berkuasa, baik Syi’ah maupun Khawarij, sangat menentang terhadap kepemimpinan Mu’awiyah. Kaum Syi’ah menentang karena Mu’awiyah dianggap merebut kekuasaan dari Sayyidina Ali, sementera Khawarij menentang karena Mu’awiyah berkuasa dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ketiga kelompok ini saling mengkafirkan satu dengan yang lainnya.
Di tengah-tengah pertikaian tiga kelompok tersebut muncullah kelompok yang bersikap tidak ingin terlibat pada persoalan perselisihan pendapat sebagaimana kelempok-kelompok di atas. Mereka ini disebut dengan golongan Murji’ah. Tentang dosa besar, mereka berselisih dengan kaum Khawarij. Menurut pandangan mereka, perbuatan manusia yang belum jelas nash-nya, ditangguhkan hukumnya sampai di akhirat. Maka, palaku dosa besar tidak bisa dikatakan sebagai orang kafir selagi masih ada iman kepada Allah dan Rasul-Nya (Izutsu, 1996: 50).
Perdebatan antara Khawarij dan Murjia’ah tentang perbuatan manusia tersebut, mendorong Washil bin Atha, salah seorang murid Hasan al-Basri, untuk mendirikan aliran baru dan rasional, yaitu Mu’tazilah. Aliran ini mempunyai asas dan landasan yang mereka sebut dengan al-Ushul al-Khomsah (lima landasan pokok), yaitu, tauhid, al-‘adl, al-wa’du wal wa’id, al-manzilah bainal manzilatain, amar ma’ruf nahi mungkar. Aliran ini mendapatkan masa kejayaan saat menjadi madzhab resmi pada masa Khalifah Makmun (Fakhry, 2002: 13).
Terdapat pula aliran Qadariah, yaitu kelompok yang menganggap bahwa semua orang memiliki kebebasan dalam menjalankan hidupnya. Semua perbuatan baik maupun buruk adalah kehendak dari manusia itu sendiri. Aliran ini pertama kali dipelopori oleh Ghilan al-Dimasyqi, salah saorang pemuka aliirana Murji’ah. Aliran ini oleh sebagian kalangan diyakini sebagai strategi politik tandingan terhadap kebijakan pemerintah Bani Umayyah (Nasir, 2010: 124).
Selanjutnya, aliran Jabariyyah, yaitu aliran yang dipelopori oleh al-Ja’ad bin Dirham. Berbeda halnya dengan paham Qadariyah, aliran Jabariyah meyakini bahwa semua tindakan manusia, baik ataupun buruk, telah ditentukan oleh Allah SWT. Manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan atas perbuatannya. Paham ini tersebar berkat Jahm bin Safwan, salah satu pemuka Jambariyah dari Khurasan (Nasution, 1986: 36).
Selanjutnya, aliran Asy’ariyah, dinisbatkan kepada pelopor aliran ini, yaitu Abu al-Hasan al-As’ari. Nasabnya bersambung kepada Abu Musa al-Asy’ari yang getol dalam menentang pemikiran Mu’tazilah. Imam al-Asy’ari pada mulanya adalah panganut dari paham Mu’tazilah, sebab ia merupakan anak tiri dari tokoh aliran tersebut, yaitu al-Juba’i. Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari akhirnya keluar dari paham Mu’tazilah disebabkan banyaknya pertanyaan beliau yang tidak mampu dijawab oleh tokoh Mu’tazilah.
Berikutnya, paham Maturidiyah, dipelopori oleh Abu Mansur al-Maturdi. Paham ini pertama kali berkembang di wilayah Samarkand. Munculnya paham ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap paham Mu’tazilah yang dianggap terlalu berlebihan dalam memberikan otoritas pada akal. Di sisi lain, prinsip-prinsip ulama salaf juga tidak dapat diterima sebab mengabaikan terhadapa peran akal. Paham Maturidiyah hadir dengan metode pemikiran yang mensinkronkan antara peran Naqli dan peran ‘Aql, yaitu antara prinsip Mu’tazilah yang rasional dan Hambali yang tradisional.
Penutup
Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagaimana berikut:
- Sejarah lahirnya firqoh-firqoh dalam Islam dimulai sejak meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan dari tangan pemberontak. Sayyidina Ali yang disepakati sebagai pengganti dari beliau tapi kemudian mendapatkan perlawanan dari Mu'awiyah sebab Sayyidina Ali tidak segera mencari pembunuh dari Khalifah Utsman. Hingga, lahirlah beberapa kelompok setelah terjadinya perang Siffin yaitu perang antara Sayyidina Ali dengan Mu'awiyah bin Abi Sofyan.
- Munculnya firqoh dalam Islam disebabkan adanya perbedaan perspektif di antara umat Islam. Benih-benih munculnya firqoh dilatarbelakangi oleh faktor politik. Seiring berjalannya waktu, perbedaan pandangan ini terus saja mengelinding seperti bola salju sampai generasi selanjutnya. Sehingga, terbentuklah aliran-aliran teologi yang mewarnai sejarah peradaban uumat Islam dan berdampak cukup signifikan hingga genarasi sekarang.
- Di antara firqoh yang berpengaruh dalam sejarah Islam adalah Khawarij, Syiah, Mur’jiah, al-Asy’ariyah, al-Maturidiyah, Qadariyah, Jabariyah.
Refrensi
Abidin, Zainal. 2006. Syiah dan Sunni dalam Perspektif Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa 3, 2
Asyari, Zul. 1990. Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidin. Jakarta: Kalam Mulia
Fakhry, Madjid. 2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Terj. Zamul Am. Bandung: Mizan
Hitti, Philip K.. 1874. History of Arab. London: The Mac. Millan Press
Hourani, A. 2004.Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim. Bandung: Mizan
Izutsu, Toshihiko. 1996. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam. Tokyo: Yuridho Publishing Company
Maududi (al), Abu A’la. 1978. al-Khilafah wa al-Mulk. Mesir: Daar al-Qalam
Nasir, Salihun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1986

0 Komentar