Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang multikultural, di mana penduduknya terdiri dari banyak suku, etnis, budaya termasuk agama. Setidaknya ada 6 agama yang diakui dan dianggap selaras dengan Pancasila yang pertama 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Agama-agama tersebut meliputi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu.
Indonesia sendiri menjamin bagi warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya tersebut. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UUD 45 Pasal 28E ayat 1. Dalam pasal 29 ayat 2 juga dijelaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Namun, keragaman ini justru sering kali menimbulkan silang sengkarut di antara pemeluk umat beragama. Bahkan, bukan menjadi rahasia lagi, banyak konflik agama terjadi di Indonesia karena tidak adanya intoleransi dari masing-masing penganutnya. Mengutip dari kbr.id telah terjadi puluhan kasus intoleran di Indonesia sejak 2019 s/d 2023.
7 kasus terjadi pada tahun 2019, 14 kasus di tahun 2020, 11 kasus di tahun 2021 dan 3 kasus di tahun 2022. Yang terbanyak justru di tahun 2023, yaitu 30 kasus. Bentuk intoleransi tersebut sangat beragam. Mulai dari pengrusakan rumah ibadah, penolakan tempat tinggal menjadi tempat ibadah, penolakan pembangunan tempat dsb.
Dari banyaknya kasus intoleransi di atas, tentu saja perlu dicari akar permasalanya. Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana seharusnya memahami memaknai agama dengan benar dalam konteks toleransi. Sehingga, masing-masing umat beragama semakin bijaksana menyikapi hidup yang penuh dengan pluralitas.
Pembahasan
Islam Sebagai Agama Rahmat
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Oleh sebab itu, bagi umat Islam, keragaman budaya, suku, bangsa dan agama merupakan anugerah dari Allah SWT. Menegakkan agama Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak berarti dengan cara-cara yang membabi buta. Akan tetapi, haruslah disertai dengan cara-cara yang santun, damai, dan semangat toleransi.
Spirit makna dari ayat di atas hendaknya dihayati bahwa Islam membawa misi keselamatan untuk seluruh alam. Dengan kata lain, tidak mengotak-ngotakkan antara satu dengan yang lain. Semakin tinggi seseorang memaknai ayat tersebut maka semakin tinggi pula nilai-nilai toleransinya.
Dalam konteks Indonesia, Islam diajarkan dengan nilai toleransi yang tinggi. Islam datang tanpa melalui penjajahan, akan tetapi penuh dengan sopan santun dan kedamaian. Hal ini, ditunjukkan oleh para pedagang muslim dan para Dai yang datang ke Indonesia dengan sikap ramah dan sikap terbuka, sehingga Islam kala itu mudah diterima oleh semua kalangan.
Hal tersebut sejalan dengan firman-Nya, bahwa Allah melarang adanya pemaksaan dalam menganut agama (Qs. al-Baqarah/2: 256). Dengan sikap toleran akan mengantarkan umat beragama menuju kehidupan yang harmoni, dan mereka bisa saling bekerja sama untuk mensukseskan pembangunan, baik bidang pendidikan, ekonomi dan sosial masyarakat.
Hakikat Kebersamaan dalam Pluralitas Beragama
Hidup dalam masyarakat multikultural, seseorang dituntut untuk siap dalam keragaman suku, budaya bahkan agama. Dalam Islam, keragaman merupakan sunnatullah, sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Akan tetapi, jika dikelola dengan baik maka keragaman tersebut akan menjadi rahmat, hidup dengan harmonis, dan kaya akan peradaban.
Keragaman ini akan ada di mana-mana, di tingkat regional, nasional hingga internasional. Bahkan, dalam lingkup kecil, keluarga, masyarakat, tempat kerja dsb. Setiap individu dituntut tidak saja mengakui hak orang lain dalam beragama, akan tetapi juga berusaha memahami dan mengalami perbedaan serta persamaan tersebut demi terciptanya kerukunan umat beragama.
Allah SWT. berfirman dalam Qs. al-Maidah/5: 48,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ
"Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan,"
Ayat di atas menegaskan bahwa Allah bisa saja menjadikan manusia satu kepercayaan saja, yaitu tauhid. Namun, Allah tidak menghendakinya karena Allah ingin menguji mereka. Dan dari sejak dahulu, manusia akan hidup jika mereka saling bantu-membantu sebagai satu umat atau kelompok yang memiliki persamaan dan keterikatan (Shihab, 2002: 425).
Perbedaan haruslah disikapi dengan bijaksana. Sebab, jika tidak, perbedaan seringkali menjerumuskan manusia pada konflik horizontal, saling menikam satu sama lain, menjarah dan membakar apa saja sekalipun itu rumah ibadah, dengan alasan mempertahankan keyakinan masing-masing.
Konflik semacam ini justru akan menghilangkan keyakinan bahwa agama dapat mendatangkan kesejahteraan dan kedamaian. Hal ini dapat dilihat bagaimana konflik di Maluku misalnya, di mana mereka saling berlomba dalam perselisihan, agama dan simbolnya digunakan untuk peseteruan.
Konflik tersebut akhirnya banyak menelan korban jiwa. Mulai dari anak-anak, wanita, orang tua yang sudah tidak berdaya, semua harus terkena imbasnya dari perilaku manusia yang tidak lagi memandang hak hidup manusia. Prilaku semacam ini adalah prilaku yang tidak berprikemanusiaan dan tidak boleh menjadi contoh bagi generasi mendatang.
Hubungan antar Umat Seagama
Hubungan antar umat seagama adalah hubungan kesepahaman dan kesatuan dalam menjalankan amalan dan ajaran agamanya serta tidak banyak perbedaan, dan kalaupun ada, perbedaan tersebut masih dapat ditolerir. Sesama muslim harus saling menguatkan satu sama lain, tidak boleh saling menghina apalagi menjatuhkan. Di dalam Qs. al-Hujarat/49: 10 Allah SWT. berfirman,
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ
Dalam Islam, konsep hubungan antar umat seagama diibaratkan seperti saudara satu nasab. Layaknya saudara, di antara mereka tidak boleh ada aniaya, tidak boleh membuka aib saudaranya sendiri, sebab membuka aib saudara sendiri dia seperti membuka aibnya sendiri, dan harus saling tolong-menolong dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.
Persaudaraan akan mengantarkan kepada perdamaian. Maka, kewajiban seorang mukmin terhadap mukmin yang lain ialah saling mengingatkan keduanya kepada ketakwaan. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Qs. al-'Ashr/103: 2-3, "Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran."
Berikut ini adalah prilaku membangun hubungan antar umat seagama, antara lain:
Hubungan antar Umat Beragama
Hubungan antar umat beragama adalah hubungan untuk menyatukan dan mempererat ikatan tali silaturrahmi antar umat beragama. Upaya menyatukan dan mempererat tali silaturrahmi tersebut bukan berarti mencampuradukkan semua agama. Akan tetapi, lebih kepada menjalin hubungan dalam konteks sosial demi terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang damai.
Di sinilah sikap toleransi dibutuhkan. Makna toleransi bukan berarti mengakui kebenaran semua agama. Sebab, dalam hal keyakinan, Islam tidak mengakui adanya toleransi. Umat Islam meyakini bahwa agama yang diridhai oleh Allah SWT. hanyalah agama Islam (Qs. Ali 'Imran/3: 85). Konsep toleransi dalam Islam berarti hanya mengakui adanya keberagaman keyakinan dan kepercayaan pada setiap masyarakat.
Membenarkan agama orang lain bukanlah toleransi, akan tetapi pluralisme agama yang mengarah pada sinkretisme. Pluralisme merupakan paham yang tidak dibenarkan dalam Islam. Mengapa Islam membawa misi perdamaian, hidup rukun dan toleran? Ada beberapa alasan, di antaranya:
Dalam Qs. al-Hujarat/49: 13, secara gamblang Allah SWT. menjelaskan tentang penciptaan manusia dengan beragam perbedaan. Perhatikan ayat berikut,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Pengakuan terhadap keyakian merupakan toleransi yang paling sederhana. Namun, sebagaimana penjelasan di atas, bahwa toleransi terhadap keyakinan penganut agama lain tidak berarti kita ikut membenarkan agama tersebut. Sebab, dalam Islam toleransi ada batasan-batasannya. Yang paling penting adalah setiap muslim menghargai keberadaan pemeluk agama lain.
Allah SWT. berfiman dalam Qs. al-Kafirun/109: 1-6 tentang batasan toleransi, yang artinya: "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Konsep Islam yang berikutnya adalah tidak ada paksaan dalam agama. Karena agama berasal dari hati nurani. Bagi mereka yang masuk Islam harus didasari dengan penuh keikhlasan. Masuk Islam berdasarkan kesadaran dari dalam, bukan paksaan dari luar. Allah SWT. berfirman dalam Qs. al-Baqarah/2: 256,
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
Ayat di atas menjelaskan tentang larangan memaksakan kehendak orang lain untuk meyakini kebenaran agama Islam. Sebab, agama Islam telah jelas ajaran dan bukti kebenarannya. Mereka yang terbuka mata hatinya dengan sendirinya akan mengakui kebenaran agama Islam, dan dengan sendirinya pula mereka akan masuk ke dalam agama Islam.
Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau hidup berdampingan dengan agama Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, dalam konteks bermu'amalah, beliau justru menunjukkan sikap toleransi terhadap non muslim. Termasuk juga adanya Piagam Madinah yang di dalamnya berisi tentang jaminan terhadap kebebasan beragama.
Hubungan antar Umat Beragama dengan Pemerintah
Hubungan umat beragama dengan pemerintah haruslah dibangun atas dasar saling percaya. Pemerintah yang mempunyai wewenang untuk mengatur kehidupan warga negara harus memberikan pelayanan dan pengayoman terbaik terhadap umat beragama. Sebaliknya, sebagai warga negera yang taat akan aturan, umat beragama juga harus mentaati segala bentuk aturan yang telah di tetapkan oleh pemerintah.
Di Indonesia sendiri, negara telah memberikan jaminan kebebasan terhadap warga negeranya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar NKRI 1945 Pasal 28E ayat 1. Demikian juga, pasal 29 ayat 2 menjelaskan tentang negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Kedamaian
الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ
"yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan."
Ayat di atas menjelaskan bahwa yang menjadi indikator dari sebuah perdamaian adalah bebasnya manusia dari rasa takut, rasa lapar dan ketidakamanan. Rasulullah saw. bersabda,
المسلم من سلم الناس من لسانه ويده
"Seorang muslim itu adalah apabila dia menjadi sumber perdamaian bagi sesama manusia lain, sehingga mereka terbebas dari kejahatan lidah dan tangannya."
Maka, sangat ironi, jika agama yang membawa misi perdamaian justru oleh sebagian muslim dirusak dengan prilaku yang tidak dibenarkan oleh Islam. Tindakan intoleransi terjadi di mana-mana. Seperti tindakan pengrusakan dan pelemparan tempat ibadah, penolakan tempat tinggal untuk menjadi tempat ibadah, demonstrasi penolakan pembangunan tempat ibadah dan prilaku yang lain.
Maka penting bagi umat muslim menghayati esensi dari misi yang dibawa oleh agama Islam. Seorang Muslim harus selalu menjadi juru perdamaian, menjadi sumber perdamaian, baik bagi umat Islam itu sendiri maupun bagi manusia seluruhnya, sebagaimana misi Islam yaitu agama yang rahmatan lil 'alamin.
Penutup
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sebagai agama petunjuk, Islam datang ke muka bumi sebagai rahmatan lil aalamiin, agama yang penuh dengan rahmat bagi seluruh alam.
2. Keberagaman merupakan sunnatullah, yaitu ketetapan Allah SWT. Akan tetapi, jika keberagaman tersebut dikelola dengan baik maka akan melahirkan keharmonisan bahkan kekayaan peradaban di tengah masyarakat.
3. Dalam Islam konsep hubungan antar umat segama diibaratkan sebagaimana saudara kandung. Oleh sebab itu, muslim satu dengan muslim yang lain tidak boleh berbuat aniaya.
4. Hubungan antar umat beragama bertujuan untuk mempererat hubungan antara umat beragama dalam kehidupan masyarakat.
5. Hubungan antara umat beragama dan pemerintah haruslah dibangun atas dasar saling percaya. Pemerintah dalam hal ini mempunyai wewenang untuk mengatur kehidupan warga negara, maka harus memberikan pelayanan dan pengayoman terbaik terhadap umat beragama. Sebaliknya, sebagai warga negera yang taat akan aturan, umat beragama juga harus mentaati segala bentuk aturan yang telah di tetapkan oleh pemerintah.
6. Umat muslim harus senantiasa menghayati esensi dari misi yang dibawa oleh agama Islam. Seorang Muslim harus selalu menjadi juru perdamaian, menjadi sumber perdamaian, baik bagi umat Islam itu sendiri maupun bagi manusia seluruhnya, sebagaimana misi Islam yaitu agama yang rahmatan lil 'alamin.

0 Komentar