Pendahuluan

Pembahasan tentang Tuhan merupakan salah satu topik paling fundamental dalam sejarah pemikiran manusia. Tidak hanya menjadi bagian inti dari ajaran agama, konsep ketuhanan juga menjadi objek kajian dalam filsafat, sosiologi, dan sejarah kebudayaan. Manusia sejak dahulu telah berusaha memahami eksistensi kekuatan tertinggi di balik realitas kehidupan ini. Dalam konteks pendidikan tinggi, memahami konsep ketuhanan tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga intelektual dan filosofis.

Dalam dunia akademik, pembahasan tentang ketuhanan melibatkan pendekatan multidisipliner: dari filsafat yang mengandalkan logika, hingga sejarah yang menelusuri evolusi pemikiran keagamaan. Banyak tokoh besar dalam sejarah filsafat maupun keagamaan yang telah mengajukan argumen-argumen untuk membuktikan atau menjelaskan keberadaan Tuhan. Dari era kuno hingga modern, pertanyaan tentang Tuhan tetap relevan dan mendesak untuk dipahami secara kritis.

Sementara itu, Islam memposisikan ketuhanan sebagai pusat ajaran dan peradaban. Konsep tauhid tidak hanya menekankan keesaan Tuhan secara teologis, tetapi juga memiliki implikasi sosial dan moral yang luas. Tuhan dalam Islam bukan hanya sosok transenden yang jauh, tetapi juga dekat, mengatur, dan menjadi sumber nilai dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk memahami konsep ketuhanan dari berbagai pendekatan agar mampu berdialog dengan zaman secara kritis dan reflektif.

Artikel ini membahas lima aspek penting: konsep Tuhan secara umum, filsafat ketuhanan, sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan, pandangan Islam tentang Tuhan, dan argumen rasional pembuktian adanya Tuhan. Seluruh pembahasan disusun untuk membantu mahasiswa memperkuat nalar keagamaannya dan mengembangkan keimanan yang tidak lepas dari kerangka berpikir ilmiah dan filosofis.

Pembahasan

Konsep Tuhan dalam Berbagai Tradisi

Konsep tentang Tuhan merupakan gagasan universal yang hadir dalam hampir seluruh kebudayaan dan agama di dunia. Meskipun pemahamannya bervariasi, hampir semua masyarakat memiliki kesadaran akan keberadaan kekuatan yang lebih tinggi di luar diri manusia. Gagasan ini sering dikaitkan dengan penciptaan, pemeliharaan alam semesta, dan dasar moral kehidupan manusia (Nasution 1992, 13).

Dalam tradisi monoteistik seperti Islam, Kristen, dan Yahudi, Tuhan dipahami sebagai satu entitas yang esa, absolut, dan transenden. Ia tidak tergantung kepada apa pun, tidak terikat ruang dan waktu, serta menjadi sumber segala keberadaan. Konsep ini memiliki akar yang kuat dalam wahyu dan kitab suci. Di dalam Islam, misalnya, Allah disebut sebagai "Ahad" (esa) dan "As-Shamad" (tempat bergantung segala sesuatu) (Q.S. Al-Ikhlas: 1–2).

Sementara itu, dalam politeisme, Tuhan dipersonifikasikan menjadi banyak dewa yang memiliki karakter dan fungsi yang berbeda-beda. Contohnya adalah Dewa Zeus dalam Yunani Kuno atau Dewa Brahma dalam Hindu. Dalam sistem ini, para dewa sering kali memiliki sifat-sifat kemanusiaan sehingga konsep ketuhanannya cenderung antropomorfik (Armstrong 1993, 52).

Beberapa kepercayaan kuno mengembangkan pemahaman panteistik, di mana Tuhan bukanlah pribadi yang terpisah dari alam, melainkan menyatu dengan alam itu sendiri. Ajaran seperti Taoisme dan beberapa aliran Hindu memuat unsur-unsur panteistik yang memandang kosmos sebagai perwujudan Tuhan (Nasr 2006, 74).

Filsuf klasik seperti Anselmus mendefinisikan Tuhan sebagai “being than which nothing greater can be conceived” (Plantinga 1974, 216). Sedangkan Aquinas mengajukan gagasan bahwa keberadaan Tuhan dapat dibuktikan melalui pengamatan terhadap dunia fisik dan keteraturan di dalamnya (Aquinas 2003, 11).

Dengan demikian, meskipun setiap tradisi memiliki cara berbeda dalam menjelaskan Tuhan, hampir semuanya menyepakati bahwa Tuhan adalah sumber keberadaan, kekuasaan tertinggi, dan dasar moralitas. Pemahaman ini menjadi landasan penting bagi berbagai sistem kepercayaan dan nilai dalam kehidupan masyarakat.

Filsafat Ketuhanan: Rasionalisasi tentang Tuhan

Filsafat ketuhanan merupakan bagian dari filsafat metafisika yang secara khusus membahas eksistensi, sifat, dan relevansi Tuhan dalam realitas. Fokus utama dari kajian ini adalah penggunaan akal untuk memahami hakikat ketuhanan tanpa sepenuhnya bergantung pada wahyu atau tradisi. Filsafat ketuhanan muncul sebagai respons atas kebutuhan manusia untuk memahami Tuhan secara rasional (Nasr 2006, 45).

Dalam sejarah filsafat Barat, gagasan ketuhanan sudah muncul sejak masa Presokratik, tetapi lebih sistematis dalam pemikiran Plato. Ia memperkenalkan ide tentang “Yang Baik Tertinggi” (The Form of the Good), yang menjadi sumber segala realitas dan kebaikan (Russell 2004, 73). Aristoteles, murid Plato, memperkenalkan konsep Penggerak yang Tidak Digerakkan (Unmoved Mover) yang menjadi penyebab utama dari segala perubahan di alam semesta (Russell 2004, 81).

Dalam konteks pemikiran Kristen abad pertengahan, Anselmus menyusun argumen ontologis bahwa keberadaan Tuhan dapat dibuktikan melalui pemikiran logis (Plantinga 1974, 216). Thomas Aquinas menawarkan lima argumen rasional, termasuk argumen kosmologis dan teleologis (Aquinas 2003, 14).

Dalam dunia Islam, Ibn Sina menyatakan bahwa Tuhan adalah Wajib al-Wujud, keberadaan yang tidak mungkin tidak ada (Nasr 2006, 88). Al-Farabi mengembangkan hirarki wujud dari Tuhan hingga dunia materi. Sementara Al-Ghazali mengkritik rasionalisme berlebihan dan menegaskan pentingnya wahyu sebagai sumber utama kebenaran (Al-Attas 1990, 78).

Kritik terhadap argumen rasional juga datang dari filsuf modern seperti Kant, yang menolak pembuktian metafisik dan melihat Tuhan sebagai postulat moral (Lewis 1943, 39). Meski begitu, argumen-argumen ini tetap menjadi dasar perdebatan yang produktif hingga sekarang.

Filsafat ketuhanan bukan hanya soal membuktikan Tuhan, tetapi juga mendalami hubungan antara akal, iman, dan realitas. Dengan memahami filsafat ketuhanan, seseorang dapat membangun fondasi keimanan yang kuat sekaligus terbuka terhadap perbedaan dan dialog lintas pemikiran.

Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

Pemikiran manusia tentang Tuhan berkembang seiring perjalanan sejarah dan transformasi kebudayaan. Sejak zaman purba, manusia sudah memiliki kesadaran akan kekuatan gaib yang mengendalikan alam dan kehidupan. Kesadaran ini muncul dari pengalaman langsung terhadap fenomena alam seperti petir, gunung meletus, atau kematian, yang dirasakan sebagai sesuatu yang lebih besar dari diri manusia (Armstrong 1993, 9).

Pada masa primitif, manusia menganut animisme, yaitu kepercayaan bahwa semua benda di alam—pohon, batu, sungai—memiliki roh atau jiwa. Kepercayaan ini kemudian berkembang menjadi dinamisme, yakni keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang bisa memengaruhi kehidupan manusia. Dalam fase ini, belum ada konsep Tuhan sebagai pribadi yang transenden, melainkan kekuatan tak terlihat yang perlu didekati melalui ritual dan sesajen (Nasr 2006, 19).

Ketika peradaban mulai berkembang, muncul sistem politeisme, di mana Tuhan mulai dipersonifikasikan menjadi berbagai dewa dengan peran spesifik. Contohnya dalam Mesir Kuno, Dewa Ra dianggap sebagai dewa matahari dan pencipta dunia. Dalam budaya Yunani, para dewa memiliki sifat manusiawi, dengan kelebihan dan kelemahan. Ini menunjukkan bahwa konsep Tuhan masih dibayangkan dalam kerangka antropomorfik—yakni menyerupai manusia (Russell 2004, 23).

Kemajuan filsafat di Yunani mengubah cara manusia berpikir tentang Tuhan. Para filsuf mulai mempertanyakan keberadaan para dewa dalam mitologi dan menggantinya dengan konsep metafisik. Plato dan Aristoteles memperkenalkan ide tentang Tuhan sebagai prinsip abadi, bukan makhluk dengan emosi. Pandangan ini menjadi dasar bagi lahirnya teisme rasional, yang meyakini Tuhan sebagai asal mula segala sesuatu yang dapat dipahami dengan akal (Russell 2004, 72).

Masuk ke era keagamaan profetik, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, Tuhan dipahami sebagai pribadi yang transenden, pencipta, dan pemelihara alam. Perbedaan utama dengan politeisme adalah Tuhan dalam agama-agama ini bersifat esa dan tidak memiliki perwujudan fisik. Pemikiran ini memperkuat konsep monoteisme, yang tidak hanya menekankan keesaan Tuhan secara kuantitas, tapi juga secara sifat dan esensi (Nasution 1992, 28).

Pada masa Abad Pertengahan, teologi menjadi pusat pemikiran, baik dalam dunia Islam maupun Kristen. Para pemikir seperti Aquinas, Anselmus, Ibn Sina, dan Al-Ghazali mencoba merumuskan konsep Tuhan dalam kerangka yang bisa diterima akal. Periode ini melihat harmonisasi antara akal dan wahyu, serta munculnya banyak argumen filosofis untuk membuktikan Tuhan (Plantinga 1974, 215).

Namun, seiring munculnya Zaman Pencerahan, terjadi pergeseran. Akal mulai dipandang sebagai satu-satunya sumber kebenaran, sementara wahyu mulai dipertanyakan. Immanuel Kant, misalnya, menyatakan bahwa Tuhan tidak bisa dibuktikan lewat spekulasi metafisika, tapi perlu diterima sebagai postulat etis dalam sistem moral manusia (Lewis 1943, 41). Ini menjadi awal munculnya teisme modern yang lebih humanistik.

Di sisi lain, muncul juga arus skeptisisme dan ateisme. Feuerbach menyatakan bahwa Tuhan adalah proyeksi dari kebutuhan manusia; apa yang dianggap sifat-sifat Tuhan sebenarnya adalah idealisasi sifat manusia. Kemudian Nietzsche secara radikal menyatakan bahwa “Tuhan telah mati”, bukan dalam arti literal, tapi sebagai kritik terhadap hilangnya peran agama dalam kehidupan modern (Armstrong 1993, 245).

Meskipun demikian, abad ke-20 dan 21 justru menyaksikan kembalinya diskusi serius tentang Tuhan, baik dalam filsafat, ilmu pengetahuan, maupun teologi. Banyak ilmuwan dan filsuf seperti Alvin Plantinga, John Polkinghorne, dan William Lane Craig mengajukan argumen baru yang menggabungkan sains dan teisme. Ini menunjukkan bahwa pemikiran manusia tentang Tuhan tidak pernah berhenti, tetapi terus berkembang dan berevolusi sesuai zaman.

Dengan mempelajari sejarah pemikiran tentang Tuhan, mahasiswa dapat melihat bagaimana manusia di setiap zaman merespons pertanyaan besar tentang asal-usul, makna hidup, dan tujuan akhir. Ini bukan hanya soal agama, tetapi juga soal bagaimana manusia membangun relasi dengan realitas yang lebih besar dari dirinya. Sejarah ini memberi pelajaran bahwa pencarian terhadap Tuhan adalah bagian dari jati diri manusia yang terdalam.

Ketuhanan Menurut Islam

Islam sebagai agama wahyu memiliki konsep ketuhanan yang sangat tegas dan mendasar, yang dikenal dengan istilah tauhid. Tauhid bukan sekadar keyakinan bahwa Tuhan itu satu, melainkan juga pernyataan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang memiliki sifat-sifat ketuhanan secara mutlak dan sempurna. Ajaran ini menjadi inti dari seluruh bangunan teologi Islam dan menjadi landasan spiritual sekaligus moral bagi umat Muslim (Nasution 1992, 45).

Konsep Tuhan dalam Islam tercermin dengan jelas dalam Surat Al-Ikhlas, yang menyatakan: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya” (Q.S. Al-Ikhlas: 1–4). Ayat ini menegaskan keesaan zat Tuhan, kebebasan-Nya dari kebutuhan dan relasi biologis, serta ketidakterbandingan-Nya dengan makhluk.

Allah dalam Islam adalah transenden sekaligus imanen. Transenden karena tidak menyerupai makhluk-Nya dan tidak terikat oleh ruang-waktu. Imanen karena dekat dengan ciptaan-Nya, sebagaimana disebut dalam Q.S. Qaf: 16, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” Dengan pemahaman ini, Tuhan bukan sosok yang jauh dan tak terjangkau, melainkan senantiasa hadir dalam kehidupan manusia (Al-Attas 1990, 33).

Islam menolak segala bentuk antropomorfisme, yakni penyandaran sifat-sifat manusia kepada Tuhan. Meskipun Al-Qur’an kadang menggunakan istilah-istilah seperti “tangan Allah” atau “wajah Allah”, para ulama sepakat bahwa istilah-istilah ini bersifat majaz atau simbolis, bukan literal. Pendekatan ini penting untuk menjaga kesucian tauhid dari penyelewengan tafsir yang menyerupai politeisme (Nasr 2006, 112).

Dalam literatur klasik Islam, para teolog membagi sifat-sifat Allah menjadi tiga: sifat zat, sifat fi’il, dan sifat maknawi. Sifat zat meliputi esensi Tuhan seperti wujud, qidam (tidak bermula), dan baqa (kekal). Sifat fi’il mencakup kehendak, kuasa, ilmu, dan mencipta. Sedangkan sifat maknawi adalah manifestasi dari sifat-sifat lainnya seperti Maha Pengasih dan Maha Adil. Semua sifat ini menunjukkan keagungan dan kesempurnaan Tuhan dalam berbagai aspek (Nasution 1992, 56).

Para filsuf Muslim juga menyumbangkan elaborasi rasional atas konsep Tuhan. Ibn Sina menyebut Allah sebagai Wajib al-Wujud, yaitu keberadaan yang tidak bisa tidak ada. Ia menjadi sumber dari semua yang mungkin ada (mumkin al-wujud). Konsep ini menjelaskan bahwa Allah tidak bergantung pada apa pun dan seluruh makhluk bergantung pada-Nya. Dari Tuhan, segala bentuk keberadaan mengalir melalui proses emanasi (Nasr 2006, 88).

Di sisi lain, Al-Ghazali memberikan kritik terhadap filsafat yang terlalu menjadikan akal sebagai ukuran utama. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menekankan bahwa makrifatullah (pengenalan terhadap Allah) tidak bisa hanya melalui logika, tetapi juga melalui pengalaman spiritual, tazkiyah (penyucian jiwa), dan ketundukan kepada wahyu. Dengan demikian, Tuhan bukan hanya objek kajian intelektual, tetapi juga tujuan spiritual manusia (Al-Attas 1990, 66).

Ketuhanan dalam Islam juga memiliki dimensi etis dan sosial. Iman kepada Tuhan tidak berhenti pada tataran metafisik, tetapi berimplikasi pada perilaku. Karena Allah Maha Adil, manusia dituntut untuk berlaku adil; karena Allah Maha Pengasih, manusia harus bersikap kasih sayang. Inilah yang membuat tauhid dalam Islam bukan hanya dogma, tetapi juga prinsip hidup (Nasution 1992, 60).

Dalam konteks sosial-politik, konsep tauhid menolak segala bentuk perbudakan terhadap sesama manusia. Hanya Allah yang layak disembah, bukan raja, uang, kekuasaan, atau ideologi tertentu. Oleh karena itu, tauhid menjadi fondasi pembebasan manusia dari segala bentuk penghambaan yang bersifat duniawi. Inilah yang menjadi dasar kuat munculnya gerakan keadilan sosial dalam sejarah Islam (Armstrong 1993, 174).

Dengan demikian, konsep ketuhanan dalam Islam sangat lengkap dan menyeluruh: ia menjawab pertanyaan filosofis tentang eksistensi Tuhan, membimbing pencarian spiritual melalui wahyu, serta menuntun perilaku moral dan sosial manusia.

Dalil Pembuktian Adanya Tuhan

Sejak zaman kuno, manusia berusaha membuktikan keberadaan Tuhan melalui berbagai pendekatan: pengalaman, akal, hingga wahyu. Walau iman kepada Tuhan bisa hadir secara naluriah, pembuktian rasional tetap penting dalam sejarah pemikiran, terutama untuk menjawab skeptisisme dan memperkuat keyakinan melalui argumentasi logis. Dalam filsafat, ini dikenal sebagai teologi natural, yakni usaha memahami Tuhan dengan akal tanpa bergantung langsung pada wahyu (Plantinga 1974, 195).

Salah satu argumen paling klasik adalah argumen kosmologis, yang berpijak pada prinsip sebab-akibat. Segala yang ada pasti memiliki sebab. Jika kita menelusuri rantai sebab ini sampai ke asal-usul pertama, maka kita akan tiba pada suatu wujud yang tidak disebabkan oleh apa pun—yaitu Tuhan. Filsuf seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas memperkuat argumen ini. Aquinas menyebut Tuhan sebagai “Uncaused Cause” atau penyebab utama dari segala yang ada (Aquinas 2003, 12).

Berikutnya ada argumen teleologis atau desain cerdas, yang menyatakan bahwa keteraturan dan kompleksitas di alam menunjukkan adanya perancang. Seperti jam menunjukkan keberadaan pembuat jam, maka struktur DNA, hukum fisika, dan keseimbangan kosmos mengindikasikan perancang cerdas. William Paley adalah tokoh utama argumen ini dalam tradisi Barat (Paley 1802, 14), dan dalam Islam argumen ini didukung oleh banyak ayat kauniyah dalam Al-Qur'an (Q.S. Al-Mulk: 3–4).

Ada pula argumen ontologis, yang lebih abstrak. Dikembangkan oleh Anselmus dan diperkuat oleh Alvin Plantinga, argumen ini menyatakan bahwa jika Tuhan adalah wujud yang paling sempurna yang dapat dipikirkan, maka Ia pasti ada, karena eksistensi adalah bagian dari kesempurnaan itu sendiri. Meski sulit dipahami pada awalnya, argumen ini tetap relevan dalam diskusi metafisika modern (Plantinga 1974, 216).

Argumen moral juga sangat berpengaruh. Tokoh seperti Immanuel Kant menyatakan bahwa adanya hukum moral universal dalam diri manusia—seperti keadilan, kasih, dan kejujuran—menunjukkan bahwa ada sumber moral yang absolut, yaitu Tuhan. Jika tidak ada Tuhan, maka hukum moral menjadi relatif dan kehilangan dasar objektifnya (Lewis 1943, 38). Dalam Islam, konsep ini disebut fitrah, yaitu naluri keimanan dan kebaikan yang Allah tanamkan dalam diri setiap manusia (Q.S. Ar-Rum: 30).

Dalam Al-Qur’an sendiri, pembuktian keberadaan Tuhan tidak selalu menggunakan argumen logika formal, tapi sering kali mengajak manusia merenung melalui ciptaan-Nya. Langit yang luas, bumi yang kokoh, pergantian siang dan malam, hingga penciptaan manusia menjadi ayat-ayat kauniyah, tanda-tanda yang menunjukkan kebesaran Tuhan (Q.S. Ar-Rum: 20–25). Pendekatan ini sejalan dengan argumen teleologis, namun dikemas secara spiritual dan eksistensial.

Para teolog Muslim juga mengembangkan argumen rasional. Al-Kindi dan Ibn Sina mengembangkan argumen kosmologis dan ontologis dengan pendekatan logika Aristoteles. Sementara Al-Ghazali, dalam Tahafut al-Falasifah, mengkritik kepercayaan mutlak kepada sebab-akibat, dan menunjukkan bahwa hanya kehendak Tuhanlah yang menjadi kepastian sejati di balik hukum alam (Nasr 2006, 91).

Dalam era modern, beberapa ilmuwan dan filsuf teistik mencoba merekonstruksi pembuktian Tuhan dengan pendekatan ilmiah. Tokoh seperti John Polkinghorne (fisikawan dan teolog) serta William Lane Craig menggunakan sains kosmologi, teori Big Bang, dan prinsip keteraturan alam semesta untuk mendukung eksistensi Tuhan. Mereka menekankan bahwa ilmu pengetahuan tidak meniadakan Tuhan, tetapi justru membuka ruang kontemplasi baru tentang keberadaan-Nya.

Namun demikian, ada pula tantangan dari ateisme dan agnostisisme. Tokoh seperti Richard Dawkins dan Stephen Hawking menyatakan bahwa alam semesta bisa tercipta secara spontan, tanpa perlu Tuhan. Pandangan ini menuai banyak kritik karena mengabaikan pertanyaan “mengapa sesuatu ada dan bukan tidak ada sama sekali”, serta gagal menjawab sumber nilai-nilai moral dan kesadaran manusia secara memadai (Armstrong 1993, 238).

Dengan semua pendekatan tersebut, jelas bahwa pembuktian Tuhan bukan soal membuktikan secara empiris layaknya benda, tetapi menyentuh dimensi rasional, eksistensial, dan spiritual. Argumen-argumen ini menjadi sarana bagi manusia untuk mengenal Tuhan lebih dalam melalui jalan akal, dan dalam Islam, akhirnya dituntun oleh wahyu sebagai sumber tertinggi pengetahuan.

Penutup

Ketuhanan bukan sekadar konsep abstrak atau dogma keagamaan, melainkan topik yang telah menjadi pusat perenungan manusia lintas zaman dan peradaban. Dalam setiap tahap sejarah, manusia terus berusaha memahami realitas tertinggi yang melampaui dirinya. Tuhan menjadi pusat arah hidup, dasar moralitas, dan sumber makna dalam kehidupan yang sering kali penuh ketidakpastian.

Melalui pendekatan filosofis, kita belajar bahwa akal memiliki peran penting dalam memahami eksistensi Tuhan. Filsafat ketuhanan membantu manusia menyusun argumen logis, mempertanyakan asumsi, dan memperkuat keyakinan dengan dasar yang rasional. Tokoh-tokoh besar seperti Plato, Aristoteles, Ibn Sina, dan Al-Ghazali telah menunjukkan bagaimana akal dan iman bisa berjalan beriringan dalam pencarian spiritual manusia.

Sejarah pemikiran tentang Tuhan juga mengajarkan bahwa pemahaman ketuhanan bersifat dinamis dan kontekstual. Dari animisme hingga monoteisme, dari politeisme hingga teisme rasional, manusia selalu berusaha mendekati dan memahami realitas ilahi dengan cara yang sesuai dengan zamannya. Ini membuka ruang dialog antaragama dan lintas budaya, serta menumbuhkan sikap toleransi dalam memahami perbedaan keyakinan.

Dalam Islam, konsep ketuhanan sangat jelas dan mendalam. Allah digambarkan sebagai Zat Yang Esa, tidak bergantung pada siapa pun, tidak menyerupai makhluk-Nya, dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan mutlak. Tauhid menjadi pondasi dari seluruh aspek kehidupan Muslim, yang mencakup dimensi spiritual, intelektual, etis, dan sosial. Iman kepada Tuhan dalam Islam bukan sekadar percaya, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan amal nyata.

Argumen-argumen rasional tentang keberadaan Tuhan—kosmologis, teleologis, ontologis, dan moral—memberi kita dasar untuk merenungkan keberadaan dan peran Tuhan dalam hidup. Meskipun tidak semua orang akan menerima argumen ini secara mutlak, keberadaannya menunjukkan bahwa keyakinan kepada Tuhan bisa dibangun melalui akal, bukan hanya tradisi.

Bagi mahasiswa, memahami konsep ketuhanan secara menyeluruh menjadi sangat penting, tidak hanya sebagai bagian dari pendidikan agama, tetapi juga sebagai bekal untuk menghadapi dunia yang plural dan kritis. Ketika iman berpadu dengan nalar, maka akan lahir keyakinan yang tangguh dan dewasa, bukan yang mudah goyah oleh keraguan atau tantangan zaman.

Daftar Pustaka

Attas (al), Syed Muhammad Naquib. 1990. Islam and the Philosophy of Science. Kuala Lumpur: ISTAC.

Aquinas, Thomas. 2003. Summa Theologica. Translated by Fathers of the English Dominican Province. Notre Dame: Christian Classics.

Armstrong, Karen. 1993. A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine Books.

Lewis, C. S. 1943. The Abolition of Man. Oxford: Oxford University Press.

Nasr, Seyyed Hossein. 2006. Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Nasution, Harun. 1992. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.

Paley, William. 1802. Natural Theology; or, Evidences of the Existence and Attributes of the Deity. London: R. Faulder.

Plantinga, Alvin. 1974. The Nature of Necessity. Oxford: Clarendon Press.

Russell, Bertrand. 2004. History of Western Philosophy. London: Routledge.