Pendahuluan

Tahun 2023 merupakan tahun yang menorehkan cacatan buruk bagi dunia pendidikan karena maraknya kasus bullying di Indonesia. Dikutip dari news.republika.co.id, setidaknya ada 2.355 pelanggaran terhadap perlindungan anak yang tercatat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga Agustus 2023.

Prilaku bullying ini, tentu saja sangat mencederai nilai-nilai yang terkandung dalam sila ke 2, yaitu "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab". Pelaku bullying sendiri tidak akan menyadari konsekuensi dari perbuatannya tersebut. Padahal, tidak sedikit dari korbannya yang melakukan bunuh diri akibat intimidasi dari para pelaku bullying. 

Dampak prilaku bullying tentu saja sangat besar bagi korban bullying, dia akan mengalami trauma dan depresi sehingga menjadi takut untuk berinteraksi, baik dengan pihak pelaku maupun dengan orang-orang sekitarnya. Di samping itu, korban bullying akan mudah cemas, sulit konsentrasi, mudah gugup, takut dsb.

Kasus semacam ini menunjukkan betapa bobroknya akhlak pelaku para bullying, di mana dengan tindakannya tersebut bisa saja dapat menumbuhkan benih konflik yang berkepanjangan di tengah masyarakat. Dan masih banyak kasus-kasus lain yang menunjukkan betapa rapuhnya keadaban tatanan masyarakat kita.

Korupsi, ketidakdisiplinan, ketidakjujuran, pelanggaran norma, intoleran, hilangnya rasa saling menghargai dan menghormati, memudarnya rasa nasionalisme merupakan penyakit yang harus segera dipulihkan dari bangsa ini. Tentu saja ini merupakan tugas kita bersama dalam mewujudkan masyarakat yang beradab dan sejahtera.   

Pembahasan

Konsep Masyarakat Beradab dan Sejahtera

Masyarakat beradab dan sejahtera bisa juga disebut dengan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupan. Madani sendiri seakar dengan kata ad-din, yang berarti agama, atau al-tamaddun yakni peradaban. Kedua kata tersebut melebur menjadi kata al-madinah yang bermakna kota (Raharjo, 1999: 145).

Kata madani mengandung tiga unsur makna, agama, peradaban dan perkotaan. Agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, masyarakat kota adalah hasilnya. Terbentuknya masyarakat madani merupakan solusi dari berbagai macam perbedaan di tengah masyarakat. Tumbuhnya nilai-nilai toleransi, pluralitas merupakan continiuasi dari nilai-nilai peradaban. 

Masyarakat yang berperadaban berarti masyarakat yang saling memberikan penghargaan, apapun perbedaan yang terjadi dan tanpa adanya pemaksaan kehendak antara satu dengan lainnya. Mewujudkan masyarakat madani, tentu sangat ditentukan oleh kualitas individu dari masyarakat itu sendiri. 

Di sinilah peranan pendidikan sangat dibutuhkan sebagai sarana analisa dan pembentukan karakter manusia. Pendidikan merupakan rancangan kegiatan yang paling ampuh untuk merubah prilaku individu atau masyarakat, dan merupakan model rekayasa sosial yang paling efektif untuk menyiapkan suatu bentuk masyarakat masa depan (Nuryansyah, 2015: 233). 

Dapat disimpulkan bahwa masyarakat beradab dan sejahtera atau masyarakat madani adalah masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai peradaban dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupan di tengah masyarakat.

Karakteristik Masyarakat Beradab dan Sejahtera

Karakteristik masyarakat beradab dan sejahtera atau masyarakat madani adalah masyarakat yang penuh dengan kecerdasan, kreatifitas (life skill), keadaban, kejujuran, keadilan, keterbukaan dan penuh dengan religuitas. Ada beberapa kreteria masyarakat beradab dan sejahtera tersebut, di antaranya:

1. Maju

Masyarakat maju adalah masyarakat yang penuh dengan karya kreatif dan inovatif. Sebab, kreatifitas akan menjadikan sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Yang paling penting dari sebuah kreatifitas adalah bagaimana bisa memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

2. Stabil

Masyarakat stabil adalah masyarakat yang penuh dengan rasa aman, tentram, damai dan minimnya gejolak dalam tatanan suatu masyarakat. Di samping itu, masyarakat stabil juga ditandai perekonomian yang tumbuh, persaingan sehat, setiap orang mempunyai kesempatan tampil dan berkreasi. Kestabilan ini akan terwujud jika hukum pada masyarakat tersebut berjalan dengan baik.

3. Mandiri

Masyarakat mandiri merupakan impian dari semua manusia. Masyarakat mandiri akan tampak bila tingkat ketergantungan masyarakat tersebut sangat rendah pada dunia luar. Dengan kata lain, masyarakat dikatakan mandiri bila masyarakat tersebut dapat memenuhi kebutuhannya dengan hasil karya mereka sendiri.

4. Demokratis

Masyarakat demokratis adalah tatanan masyarakat yang setiap individu mempunyai keterlibatan dalam memutuskan sebuah persoalan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Segelala keputusan diambil melalui pembicaraan bersama atau musyawarah. Dengan musyawarah akan meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik di tengah kehidupan masyarakat.

5. Adil 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adil bermakna sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yang benar; berpegang kepada kebenaran; sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Secara istilah masyarakat adil berarti masyarakat yang mendapatkan hak-haknya secara merata. Dengan kata lain, berlaku adil berarti tidak merenggut hak-hak orang lain.

6. Kompetitif

Kompetitif berhubungan dengan sebuah persaingan kompetisi. Masyarakat yang kompetitif adalah masyarakat yang memiliki kompetensi dan karakter yang unggul serta memiliki kinerja yang profesional dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sehingga mampu menghadapi tantangan dan persaingan (kompetensi) yang sehat dalam mencapai tujuan.

7. Pendidikan yang unggul

Pendidikan dianggap unggul apabila dalam prosesnya melahirkan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkompeten, baik peserta didiknya maupun guru sebagai pendidik. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah.

Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Beradab dan Sejahtera

Islam datang sebagai pedoman hidup bagi umat manusia. Islam tidak hanya sekedar mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhannya akan tetapi juga antara manusia dengan manusia dan lingkungannya. Aturan Islam mencakup keseluruhan dari kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, umat Islam harus berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang beradab dan sejahtara. 

Sebagaimana tertuang dalam Qs. Ali 'Imran/3: 110, 

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ 

"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik."

Berikut beberapa peranan umat muslim dalam mewujudkan masyarakat yang berperadaban dan sejahtera, di antaranya:

1. Memberantas kemiskinan
2. Menjunjung tinggi keadilan dan demokrasi
3. Mengoptimalkan dunia pendidikan sehingga melahirkan banyak intelektual
4. Mewujudkan tata sosial politik yang demokratis dan sistem ekonomi yang adil
6. Meningkatkan pendapatan dan pendidikan rakyat untuk pengembangan masyarakat
7. Membela kaum dhuafa'
8. Menjadi monitoring bagi negara 
9. Menjadi benteng pertama dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. 

Dalam mewujudkan peranan di atas, seorang muslim hendaknya memperhatikan beberapa prinsip sebagai berikut:  

1. Prinsip Egalitarian

Prinsip egalitarian merupakan prinsip yang menekankan pentingnya semangat persamaan di antara manusia, kesejajaran kedudukan di hadapan Tuhan. Kesadaran bahwa umat manusia berasal dari moyang yang sama yaitu Adam as. Di dalam Qs. Al-Hujarah/49: 13 Allah SWT. berfirman,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ 

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti."

2. Prinsip Pluralistik dan Toleransi

Prinsip pluralistik merupakan prinsip yang mengakui adanya kemajemukan bangsa dari sisi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah dan ras (Rambe, 2017, 2014). Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa perbedaan terjadi agar setiap individu saling berlomba-lomba dalam kebaikan. 

Hal ini sebagaimana dijelaskan pada Qs. al-Ma'idah/5: 48 yang berbunyi, 

...لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ

"...Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan,

Adapun toleransi adalah pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinan atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama kebebasan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban dalam masyarakat. 

3. Prinsip Musyawarah

Musyawarah merupakan prinsip berikutnya untuk menciptakan masyarakat yang berperadaban. Musyawarah berarti keterlibatan secara aktif semua anggota suatu masyarakat dalam memutuskan persoalan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Prinsip musyawarah akan terjadi bila masing-masing individu mampu menghadirkan kerelaan terhadap perbedaan, penghormatan terhadap orang lain, dan pengakuan terhadap kesamaan kedudukan di dalam hatinya.   

Dalam Qs. Ali 'Imran/3: 159 Allah berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

"Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal."

Penutup

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Masyarakat beradab dan sejahtera atau masyarakat madani adalah masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai peradaban dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupan di tengah masyarakat.

2. Karakteristik dari masyarakat beradab dan sejahtera adalah maju, stabil, mandiri, demokratis, adil, kompetitif dan pendidikan yang unggul.

3. Peran umat yang bisa dilakukan dalam mewujudkan masyarakat yang berada dan sejahtera adalah memberantas kemiskinan, menjunjung tinggi keadilan dan demokrasi, mengoptimalkan dunia pendidikan sehingga melahirkan banyak intelektual, mewujudkan tata sosial politik yang demokratis dan sistem ekonomi yang adil, meningkatkan pendapatan dan pendidikan rakyat untuk pengembangan masyarakat, membela kaum dhuafa', menjadi monitoring bagi negara, menjadi benteng pertama dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. 

Refrensi

Raharjo, M. Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: Pustaka LP3ES

Rambe, T. 2017. Membingkai Kebhinnikaan dan Kedaulatan dalam Berbangsa dan Bernegara dari Sudut Pandang Sosial Politik Nasional, Jurnal Generasi Kampus. 10 (2)