Pendahuluan
Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai tugas untuk mencerdaskan masyarakat dengan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Masyarakat di sini berarti mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikannya di tingkat SMA/SMK yang disiapkan untuk menjadi agen perubahan sosial.
Budaya akademika penting diperkenalkan kepada mahasiswa sedari awal agar mereka bisa beradaptasi dengan lingkungan kampusnya, yang dalam prosesnya sangat jauh berbeda dengan lingkungan pendidikan yang mereka tempuh sebelumnya. Pengenalan ini disebut dengan istilah Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK).
Jika ditelaah lebih dalam, banyak fenomena negatif yang terjadi di dunia akademik yang menunjukkan adanya krisis moral dan integritas ilmiah. Beberapa di antaranya misalnya perjokian kuliah, di mana fenomena tersebut merupakan prilaku contek mencontek saat melakukan tes atau ujian akademik. Fenomena ini tentu saja mencederai budaya akademika karena jauh dari ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam dunia pendidikan.
Fenomena lain adalah prilaku plagiasi karya, yaitu sebuah praktek menjiblak atau mengambil karya orang tanpa disertai dengan sumber rujukan yang jelas, dan masih banyak fenomena-fenomena negatif yang lain. Fenomena ini tentu saja menunjukkan rendahnya motivasi dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan. Dengan pengenalan budaya akademika diharapkan dapat meminimalisir mahasiswa dari prilaku-prilaku tercela tersebut.
Pembahasan
Budaya Akademika dan Etos Kerja
Budaya Akademika
Mengenal budaya akademika merupakan langkah konkrit untuk mengetahui sejauh mana suatu perguruan tinggi berjalan dengan baik atau sebaliknya, serta bagaimana mahasiswanya mampu memaknai dan menghayati terhadap budaya akademik tersebut. Kistanto (2000) misalnya, memberikan definisi terkait budaya akadamika yang merupakan hasil survei dan wawancara terkait kehidupan dan kegiatan akademik di 10 Perguruan Tinggi Negeri Indonesia.
Menurutnya, budaya akademika adalah suatu prilaku seorang akademisi yang senantiasa mencari kebenaran ilmiah lewat kegiatan yang ada di dalamnya. Prilaku tersebut harus berlandaskan terhadap kebebasan berfikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis, rasional, objektif terhadap sebuah kajian ilmiah.
Muslich (2008: 1) mendefinisikan bahwa budaya akademik adalah suatu sikap yang senantiasa melekat pada seorang akademisi dalam menghadapi persoalan ilmiah. Sikap yang dimaksud misalnya sikap ingin tahu, kritis, berfikir terbuka, objektif, menghargai pendapat orang lain, sikap komitmen terhadap suatu kebenaran, dan berfikir maju ke depan.
Menurut Ariftianto (2010: 1) budaya akademik adalah suatu upaya pemaknaan dan penghayatan serta pengamalan terhadap kegiatan akademik di suatu Lembaga Pendidikan Tinggi dan Lembaga Penelitian.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya akademika adalah suatu aktifitas dan tindakan seorang akademisi untuk menemukan suatu kebenaran ilmiah, yang dilandaskan atas kebebasan berfikir dan kometmen terhadap suatu yang benar serta tidak keluar dari etika ilmiah.
Etos Kerja
Etos kerja terdiri dari dua suku kata, etos dan kerja. Etos sendiri berasa dari bahasa Yunani (ethos) yang berarti watak atau karakter. Secara terminologi, etos berarti karakteristik dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan, yang bersifat khusus tentang individu atau sekelompok manusia.
Seakar dengan kata etos adalah "etika" dan "etis" yang bermakna "akhlaq" atau bersifat "akhlaqi", yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa (webster, 1980: 35). Secara sederhana etos berarti sebuah watak dasar dari suatu masyarakat. Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma sosial masyarakat tersebut (Ensiklopedia, 1989: 219).
Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan prilaku diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar dalam kehidupan masyarakat (C Geertz, 1973: 127). Sebagai landasan bagi kehidupan manusia, etos juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai dalam kehidupan masyarakat (Taufik, 1982: 3).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa etos merupakan semangat yang tumbuh dari diri manusia, di mana dari semangat tersebut ia bergerak secara optimal untuk mengerjakan suatu hal yang hendak ia capai.
Adapun pengertian "kerja" adalah sebuah tindakan melakukan sesuatu (Anton, 1944: 488). Jika digabungkan "etos" dan "kerja", maka bermakna sebuah doktrin kerja yang tertanam dalam diri manusia atau sekolompok orang yang bersifat baik dan benar sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk mewujudkannya dalam prilaku kerja mereka.
Jika dikaitkan dengan budaya akademika, etos kerja mempunyai makna semangat dan prilaku belajar, keingin tahuan yang besar untuk mencari jawaban dan pemecahan dari suatu masalah melalui kegiatan ilmiah atau penelitian, untuk melakukan perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Mahasiswa yang memiliki etos kerja yang tinggi dalam budaya akademiknya, ia akan selalu meningkatkan kompetensi, akuntabilitasi dan kreatifitas dalam bidang akademik.
Fungsi Budaya Akademika dan Etos Kerja
Dari pengertian budaya akademika di atas, terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut mengacu pada UU Nomor 12 tahun 2012 Bab I Pasal 4 menyatakan bahwa Pendidikan Tinggi berfungsi untuk:
(a) mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
(b) mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, tarampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma;
(c) mengembangkan Ilmu Pengatahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humainiora.
Adapun pasal 5 menyatakan bahwa Pendidikan Tinggi bertujuan untuk:
(a) berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, tarampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;
(b) dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengatahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa;
(c) dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humainiora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia;
(d) terwujudnya Pengabdian Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut Ariftianto (2010, 1), ada beberapa indikator apakah budaya akademik berjalan dengan baik atau tidak.
- Penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif;
- Berfikir secara rasional serta kritis-analitis disertai dengan tanggung jawab moral;
- Budaya membaca;
- Pengetahuan dan wawasan yang berkelanjutan;
- Upaya melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;
- Pembuatan artikel, makalah, buku;
- Budaya diskusi ilmiah;
- Adanya proses belajar-mengajar;
- Pengelolaan suatu perguruan tinggi yang baik.
Ada beberapa sebab mengapa budaya akademik tidak terlaksana dengan baik di suatu kampus, di antaranya:
Pertama, terhambat oleh adanya budaya kolonial dan feodal;Kedua, terhambat oleh budaya otoritarian dan birokratis;
Ketiga, banyaknya kegiatan yang bersifat seremonial;
Keempat, minimnya fasilitas dan sarana-prasarana yang kurang memadahi;
Kelima, kurangnya penghayatan oleh mahasiswa bahkan dosen terhadap budaya akademik;
Keenam, mahasiswa dan dosen yang belum terbiasa berfikir secara ilmiah;
Ketujuh, orientasi suatu kampus yang lebih mementingkan keuntungan (profit) ketimbang kualitas.
Fungsi Etos Kerja
Setiap manusia memiliki keinginan (spirit) untuk berhasil. Keinginan inilah yang memotivasi manusia untuk bekerja keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional, bertanggung jawab untuk bisa meraih keinginannya tersebut. Tidak hanya itu, untuk meraih keinginannya tersebut manusia kemudian dituntut untuk kerja positif, kreatif dan produktif (Sinarmo, 2005: 99).
Lantas apa saja fungsi dari prilaku manusia yang mempunyai etos kerja tersebut? Masih menurut Sinarmo, ada empat fungsi dari manusia yang mempunyai etos kerja:
- Untuk meraih prestasi dengan motivasi yang kuat;
- Meraih masa depan yang cemerlang dengan karakter kepemimpinan yang visioner;
- Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif;
- Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.
Karakter Mu'min yang Memiliki Budaya Akademik
Berfikir Kritis
Seorang mu'min yang mempunyai karakter akademik akan selalu mengembangkan sikap keingin tahuan, sehingga ia akan mencari jawaban dan pemecahan dengan melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah (penelitian).
Dalam al-Qur'an orang yang berfikir kritis disebut sebagai ulul albab, yaitu seorang hamba yang mempunyai sikap kritis agar ia dapat mengevaluasi masalah hingga ia menemukan solusi terbaik untuk pemecahannya.
Seorang hamba yang ulul albab adalah seseorang yang menempatkan Allah, Rasul, dan agama Islam di dalam hatinya. Sikap ini tertuang dalam Qs. Ali 'Imran/3: 190-191, yang berbunyi:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.
Mengacu pada ayat di atas, ulul albab adalah seorang yang menggunakan akalnya untuk berfikir, menelaah, meniliti serta melakukan intropeksi terhadap suatu permasalahan. Dengan demikian, karakter seorang mu'min yang mempunyai budaya akademik adalah seorang hamba yang mempunyai keterampilan berfikir, rasa ingin tahu yang sangat besar, berfikir terbuka, dan menghargai kejujuran.
Kreatif
Dalam al-Qur'an, berfikir kreatif dan inovatif dijelaskan dalam Qs. Al-Baqarah/2: 219-220 yang berarti,
...كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,
فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗ ...
Tentang dunia dan akhirat...
Ayat di atas, bagaimana Allah SWT. memerintahkan kepada manusia agar mengelola apa yang telah Allah ciptakan kepada mereka dengan sikap berfikir, karena Allah telah membekali manusia dengan akal untuk berfikir. Sikap berfikir akan menjadikan seorang mu'min berusaha untuk menjadi insan yang berkembang.
Objektif
Kegiatan ilmiah harus dilandaskan pada suatu kebenaran ilmiah pula. Bukan karena intervensi kekuasaan, uang, atau ambisi pribadi. Dengan kata lain, kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang diperoleh berdasarkan analisis secara benar, jujur, dan transparan.
Dalam al-Qur'an, berfikir objektif tersebut dijelaskan dalam Qs. Al-Baqarah/2: 216 yang berbunyi,
...وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ
...Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Ayat di atas menjelaskan agar setiap mu'min senatiasi berfikir objektif, netral dan tidak memihak, sehingga ia bisa mengambil nilai baik atau buruk dalam segala aspek kehidupan. Ketika semua mu'min terbiasa menilai segala sesuatu dengan sikap objektif, maka akan terbentuk sikap saling menghargai satu sama lain.
Analitis
Karakter seorang mu'min yang memiliki budaya akademik selanjutnya adalah berfikir analitis. Suatu kegiatan ilmiah harus didasarkan pada metode ilmiah agar kagiatan tersebut dapat menghasilkan kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah tidak akan tercapai jika tidak dilakukan dengan analisis yang benar terhadap suatu persoalan. Jika analisis suatu persoanal kurang tepat maka kesimpulannya pun tidak akan tepat.
Dalam al-Qur'an sendiri tidak ditemukan kata "analisis", yang ada adalah kata "berfikir" dengan berbagai bentuknya. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang "berfikir analitis" dalam al-Qur'an. Perhatikan Qs. Al-An'am/6: 65,
...اُنْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُوْنَ
...Perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kekuasaan Kami) agar mereka memahami(nya).
Dalam tafsir Kemenag (lihat tafsir Kemenag hal. 135) yang dimaksud dengan ayat di atas adalah Allah SWT. memerintahkan manusia agar dapat memehami dan dapat menggunakan akal berfikir untuk menganalisis ayat-ayat Allah, hujjah-hujjah-Nya, dan bukti kekuasaan-Nya.
Karakter Muslim yang Mempunyai Etos Kerja
Setiap muslim berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun keluarganya dengan bekerja. Bahkan, Islam mengajarkan agar setiap manusia tidak setengah-setengah dalam bekerja, akan tetapi bekerja secara profesional. Bagi seorang muslim, bekerja secara profesional berarti seseorang bekerja dengan penuh amanah dan tanggung jawab sekaligus diniati karena mencari ridha Allah SWT.
Penutup
2. Fungsi dari budaya akademika yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, tarampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; mengembangkan Ilmu Pengatahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humainiora. Adapun fungsi dari etos kerja adalah untuk meraih prestasi; meraih masa depan yang cemerlang; menciptakan nilai baru; meningkatkan mutu.
Refrensi
Kistanto,
Nurdien H. 2000. Budaya Akademik: Kehidupan dan Kegiatan Akademik di
Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Jakarta: Dewan Riset Nasional, Kantor
Kementerian Negera Rise dan Teknologi.
Ensiklopedia
Nasional Indonesia, 1989
Geertz, C.
1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Book

0 Komentar